selamat datang

Selasa, 22 Oktober 2013

CAMPUR KODE DALAM PERISTIWA JUAL BELI DI LINGKUNGAN PASAR SENTRAL KULISUSU KABUPATEN BUTON UTARA#






Nama: Fauziah
Stambuk: A1D1 11 055

NAMA             : ZALVIANI
NOMOR STAMBUK     : A1D1 06 032
PROGRAM STUDI         : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JUDUL PENELITIAN     : CAMPUR KODE DALAM PERISTIWA JUAL BELI DI      LINGKUNGAN PASAR SENTRAL KULISUSU KABUPATEN BUTON UTARA
DOSEN PEMBIMBING     :1. Drs. La Yani Konisi, M.Hum
                     NIP 19671231 199303 1 021
                 2.Dra. Hj. Erny Harijati, M.Hum
                    NIP 19591028 1985501 2 001
TAHUN SKRIPSI       : 2011

















ABSTRAK

    Penelitian ini berjudul campur kode dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral kulisusu kabupaten buton utara. Campur kode merupakan dua bahasa yang di gunakan secara bersamaan pada waktu yang sama. Dengan memahami fungsi campur kode, maka dapat memberikan peluang besar kepada kedudukan eksistensi bahasa daerah untuk tetap bertahan dan terus diwariskan kepada generasi berikutnya sebagai salah satu identitas pokok budaya lokal. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana campur kode dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral  Kulisusu Kabupaten Buton Utara dan faktor penyebab terjadinya campur kode tuturan dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara?” Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan campur kode dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral Kulisusu dan  untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya campur kode tuturan dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Sementara, manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini adalah: (1) Sebagai bahan perbandingan bagi mereka yang berminat untuk mengadakan penelitian lanjutan yang lebih rinci tentang kebahasaan, (2) Untuk memberikan masukan terhadap pengembangan teori – teori kebahsaan, khususnya dalam bidang sosiolinguistik, (3) Dapat memberikan informasi bagi guru ternyata dalam penggunaan bahasa Kulisusu dan bahasa Indonesia terjadi gejala campur kode, (4) Untuk memberikan bahan banding bagi penelitian lanjutan yang relevan dengan penelitian ini.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data dalm penelitian adalah tuturan – tuturan yang di gunakan dalam peristiwa jual beli di pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Instrumen kunci dan mengunakan alat bantu  yang berupa panduan observasi dan tape recorder. Dari hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.
Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa dalam campur kode yang terjadi di pasar sentral Kulisusu dalam peristiwa jual beli berupa campur kode dalam bentuk kata, frasa dan klausa. Peristiwa campur kode tersebut terjadi biasanya dilingkungan penjualan ikan, penjualan pakaian, penjualan sayur dan penjualan barang pecah bela. Selain itu, campur kode tidak terjadi begitu saja melainkan dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya campur kode di pasar sentral Kulisusu yaitu karena penutur ingin memfokuskan pokok pembicaraan. Campur kode yang terjadi dominan dilakukan dari bahasa daerah Kulisusu ke bahasa Indonesia dalam bentuk frasa dan klausa. Hal tersebut disebabkan oleh penutur  berasal dari latar belakang kebudayaan yang sama dilakukan dengan suasana santai dan akrab. Dengan demikian dapat dikatakan dahwa percakapan yang dilakukan oleh para pelaku pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara merupaka tuturan bilingual.

Kata kunci : Campur Kode





BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang dan Masalah
    Bahasa memegang peranan sangat penting dalam kehidupan manusia karena manusia sebagai makhluk sosial harus berinteraksi dan berkomunikasi dalam kelompok sosial. Bahsalah yang memungkinkan terjadinya interaksi dalam nasyarakat. Itulah sebabnya kedudukan bahasa sebagai unsur kebudayaan selalu di tetapkan pada peringkat pertama. Hal ini bersifat universal yaitu berlaku setiap suku bangsa atau setiap kelompok manusia.
    Setiap bahasa memiliki frase yaitu gabungan dua kata atau lebih yang tidak dapat dipisahkan dan melampaui batas fungsi. Bahasa juga memiliki kalimat yaitu satuan bahasa secara gramatis terdiri satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu dan dapat berdiri sendiri sebagai satu kalimat. Kalimat sebagaimana kita ketahui, dibentuk dari kata atau kelompok kata. Di dalam pembentukan atau penyusunan kalimat, setiap bahasa mempunyai tipologi atau pola kalimat, baik itu bahasa Indonesia, terdapat bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing, kemungkinan terjadi kontak bahasa itu sangatlah besar. Mackey (Suwito, 1983) memberikan pengertian kontak bahasa sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kontak bahasa terjadi apabila seseorang penutur yang menguasai dua bahasa yang dikuasainya secara bergantian.
    Akibat kontak bahasa dan kedwibahasaan dapat menimbulkan saling pengaruh antara dua bahasa yang bersangkutan. Peristiwa kontak bahasa akan terjadi campur kode tuturan.
    Peristiwa yang terjadi di lapangan dalam masyarakat Kulisusu di pasar Kabupaten Buton Utara, penulis menemukan antar penjual dengan pembeli dalam proses tawar-menawar menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Kulisusu.
    Berdasarkan kenyataan ini, maka masyarakat Kulisusu adalah masyarakat pada umumnya sebagai penutur bahasa Kulisusu dan saling mempengaruhi antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa baerah yang lain atau dengan bahasa Indonesia.
    Disamping itu, penelitian yang dilakukan untuk meneliti campur kode bahasa daerah Kulisusu di lingkungan pasar sentral belum pernah dilakukan. Hal tersebutlah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang campur kode bahasa Kulisusu dan bahasa Indonesia dalam jual beli di lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Dengan demikian, penelituan ini merupakan penelitian pertama yang khusus membicarakan campur kode bahasa Kulisusu dan bahasa Indonesia dalam jual beli di lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengkaji dan mengangkat masalah ini ke dalam bentuk karya tulis yang berbentuk skripsi guna memperdalam pemahaman tentang penggunaan campur kode.

1.1.2 Masalah
    Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penelitian ini mengkaji permasalahan berikut:
1.    Bagaimanakah campur kode dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara?
2.    Faktor penyebab terjadinya campur kode tuturan dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.
1.2 Tujuan Penelitian
    Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan campur kode dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral kulisusu Kabupaten Buton Utara dan untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya campur kode tuturan dalam peristiwa jual beli di lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.

1.3 Manfaat Penelitian
    Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut ini.
1.    Sebagai bahan perbandingan bagi mereka yang berminat untuk mengadakan penelitian lanjutan yang lebih rinci tentang kebahasaan.
2.    Untuk memberikan masukan terhadap pengembangan teori-teori kebahasaan, khususnya dalam bidang sisiolinguistik.
3.    Dapat memberikan bahan banding bagi penelitian lanjutan yang relevan dengan penelitian ini.

1.4 Batasan Operasional
    Yang menjadi kata-kata operasional dalam penelitian ini adalah:
1.    Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
2.    Bentuk campur kode adalah penggunaan bahasa daerah yang bercampur kode dengan bahasa Indonesia yang berbentuk kata dan gabungan kata dan dilakukan secara sadar dengan maksud tertuntu.
3.    Masyarakat pasar merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan dianggap sama yang hidup dalam lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.
4.    Bahasa daerah yakni bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi antara warga masyarakat di lingkungan pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.












BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Sosiolinguistik
    Sosiolinguistik merupaka ilmu antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bodang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Maka, untuk memahami apa sosiolinguistik itu, perlu terlebih dahulu dibicarakan apa yang dimaksud dengan sosiologi yang sangat bervariasi, tetapi yang intinya kira-kira adalah bahwa sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat.  Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung dan tetap ada.nsedangkan linguistik adalah bisdang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.
    Fishman (dalam Chaer 2004: 3) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan pemakaian bahasa karena ketiga unsur ini selalau berinteraksi, berubah dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.
    Meijer (dalam Chaer 2004: 4) mengatakan bahwa sosiolinguistik kajian mengenai bahasa dan pemakainya dalam konteks sosial dan kebudayaan.
    Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka kita dapat mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakai bahasa dalam konteks sosial dan budaya dalam masyarakat.

2.2 Kajian Sosiolinguistik
     Sosiolinguistik lazim dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi bahasa serta hubungannya di antara bahasawan dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa. Menurut (Kridalaksana dalam pateda, 1987: 2) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang berusaha untuk menjelaskan ciri-ciri sosial.
    Jarak sosial dapat dilihat dari sudut vertikal dan sudut horisontal. Dimensi vertikal akan menunjukkan apakah seorang itu berbeda di atas atau di bawah (berkedudukan tinggi atau rendah). Dimensi vertikal ini merupakan alat untuk menetapakan seseorang dalam kontinum hormat atau tidak hormat. Dimensi sosial ini misalnya kelompok umur, kelas atau status perkawinan. Sedangkan dimensi horisontal menunjukkan kontinum akrab atau tidak akrab. Misalnya derajat persahabatan, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, jarak tempat tinggal.
    Tinjauan sosiolinguistik lainnya adalah bahwa bahasa memungkinkan penuturnya fleksibel dalam memainkan berbagai hubungan peran sewaktu berkomunikasi. Penutur senantiasa membatasi diri pada norma-norma hubungan peran dengan memilih ragam bahasa tertentu. Inilah yang menjadi obyek sosiolinguistik yakni siapa yang bertuturan kata (variasi) bahasa apa, kepada siapa dan tentang apa.

2.3 Ruang Lingkup Sosiolinguistik
Penggunaan bahasa terbagi atas dua yaitu kegiatan yang bersifat aktif dan kegiatan yang bersifat pasif. Kegiatan bahasa bersifat aktif meliputi mendengarkan dan membaca.
Baragam-ragam tingkah laku manusia sehubungan dengan bahasa. Bagaimana interaksi antara kedua aspek tingkah laku manusia (berbicara dan membaca) inilah yang menjadi urusan sisoilinguistik.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas, kita dapat membagi sosiolinguistik atas dua bagian, yakni:
a.    Mikro sosiolinguistik yang berhubungan dengan kelompok kecil, misalnya sisitem tegur sapa.
b.    Makro sosiolinguistik yang berhubungan dengan masalah perilaku bahasa dan struktur sosial.
2.4 Kegunaan Sosiolinguistik
Setiap bidang ilmu tentu mempunyai kegunaan dalam kehidupan  praktis. Begitu juga dengan sosiolinguistik, kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia, tentunya mempunyai aturan-aturan tertentu. Dalam penggunaannya sosiolinguistik memberikan pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa. Sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi sosial tertentu, seperti dirumuskan Fishman, bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah, “Who speak, what language, to whom, when and to what and”.
Pertama-tama pengetahuan sosiolinguistik dapat kita menfaatkan dalam komunikasi, sosiolinguistik akan memberikan pedoman kepada kita dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita berbicara dengan orang tertentu.

2.5 Pengertian Kedwibahasaan dan Dwibahasawan
2.5.1 Pengertian Kedwibahasaan
    Uraian tentang kedwibahasaan atau bilingualisme penulis akan merujuk pada beberapa ahli yang sudah terkenal di antaranya:
    Rusyana (1984: 50) menyatakan bahwa pada mulanya kebahasaan diartikan sebagai praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian oleh seorang pembicara.
    Kedwibahasaan adalah kemampuan seseorang menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain (haugen dalam jendra, 1966: 123). Nababan (1988 : 27), menyatakan bilingualisme ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Begitu pula dengan nilai-nilai psikolinguistik seperti; Ervin dan Osgood (1965: 44). Beliau juga dengan ahli sosiolinguistik seperti Ferguson (1958: 9) memakai istilah diglosia untuk pola berdwibahasa.
2.5.2 Pengertian Dwibahasawan
    Samsuri (1978: 55) mengatakan bahwa “pembicara yang mempunyai kebiasaan memakai dua bahasa atau lebih secara bergiliran diistilahkan dengan dwibahasawan”. Untuk membatasi pengertian dwibahasawan ini dapat di ambil uraian Rusyana (1975: 41) yang berdasarkan tulisan Hougen, dikatakan bahwa di antara dwibahasaan ini dapat dibentuk dwibahasa orang dewasa. Dwibahasawan pada tingkat anak-anak diartikan sebagai mempelajari bahasa kedua pada waktu belum berumur kurang dari 14 tahun, sedangkan dwibahasawan tingkat orang dewasa ialah mereka yang berumur lebih dari 14 tahun, yang berarti sudah dewasa. Secara terperinci di bawah ini diuraikan empat pambagian dwibahasawan, yaitu:
a.    Ekabahasawan.
b.    Dwibahasawan anak-anak.
c.    Dwibahasawan oarang dewasa, dan
d.    Dwibahasawan mempelajari bahasa pada anak-anak tetap kehilangan kemampuan karena kurang dipergunakan.

2.6 Pengertian Kode
     Sehubung dengan pengertian kode, Syamsudin, dkk (1997: 123) mengataka bahwa kode ialah sistem tutur yang penerapannya unsur ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur, dengan lawan bicara dan situasi yang ada. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa dalam kode itu terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, kata-kata, morfem dan fonem.
Berdasrkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kode dalam penelitian ini adalah sistem tutur yang menerapkan unsur bahasa sebagai mediumnya sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dengan situasi tutur yang ada. Ragam bahasa yang akan dipilih dalam suatu pembicaraan ditentukan oleh situasi pembicaraan (Kridalaksana, 1994: 23).

2.7 Pengertian Campur Kode
Campur kode sebagai pemakai dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisiten dan unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam peristiwa campur kode terbatas pada tingkat klausa (Suwito, 1993: 78)
Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan campur kode dalam penelitian ini adalah peristiwa percampuran kode dari bahasa Indonesia dalam bahasa daerah. Misalnya, dalam peristiwa tutur yang melibatkan dua orang, seorang penutur menggunakan kode A (seperti bahasa Kulisusu) dan dalam proses campur kode B (bahasa Indonesia) maka oerpindahan pemakaian bahasa seperti itu disebut campur kode (Soedarmo, 1976: 6). Namun, peristiwa tutur seperti tersebut diatas, tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai varian seperti, campur varian, campur ragam, atau campur gaya.

2.8 Faktor-faktor Terjadinya Campur Kode
    Menurut Djajasudarma, dkk (1994: 24) bahwa faktor penyebab terjadinya campur kode dalam peristiwa tutur adalah (1) ingin bergensi, (2) penutur lupa bahasa daerah sehingga penutur menggunakan bahasa Indonesia, (3) penegasan/memperjelas tuturan karena pendengar tidak memahami bahasa daerah, dan (4) pokok pembicaraan.

2.9 Fungsi Campur Kode
    Sehubungan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka dalam peristiwa tutur yang memegang peranan penting adalah (1) bergensi, (2) lupa bahasa daerah, (3) penegasan atau memperjelas, dan (4) pokok pembicaraan.
    Berdasarkan uraian di atas, Djajasudarma, dkk. (1999: 24) menguraikan bahwa fungsi campur kode adalah sebagai berikut:
1)    Sebagai acuan yang tidak (kurang) dipahami di dalam bahasa digunakan, kebanyakan terjadi karena pembicara tidak mengetahui suatu kata dalam bahasa lain.
2)    Berfungsi derektif. Dalam hal ini pendengar dilibatkan langsung kepada penutur, serta ujaran dalam percakapan ini dapat berfikir tentang fungsi dari penggunaan bahasa.
3)    Berfungsi ekspresi, pembicara menekankan identitas campur kode melalui penggunaan dua bahasa wacana yang sama.
4)    Berfungsi sebagai unutk menunjukkan perubahan nada konvensi.
5)    Berfungsi sebagai metabahasa (metalanguage), dengan pemahaman campur kode digunakan dalam mengulas suatu bahasa baik secara langsung maupun tidak langsung.

2.10 Sikap Bahasa
    Sikap bahasa (language attitude) termasuk peristiwa kejiwaan dan merupakan bagian sikap pada umumnya. Sikap bahasa dikatakan bereaksi dalam peristiwa tutur yang terjadi dalam masyarakat bahasa. Kesiapan merujuk pada sikap metal yang mungkin mengacu pada sikap perilaku yang bergantung pada sikap metal yang mungkin mengacu pada sikap perilaku yang bergantung pada kondisi ketika menghadapi situasi dalam berkomunikasi (Suwito dalam Djajasudarma., dkk. 1994: 27).
    Uraian di atas menunjukkan bahwa sikap bahasa yang dimiliki oleh masyarakat bahasa mempunyai pengaruh dalam perkembangan suatu bahasa. Sikap bahasa yang berwujud kesetiaan anggota-anggota masyarakat pemakai bahasa yang sama membawa ke arah tindakan-tindakan yang nyat yang bermuara pada pembinaan bahasa, perluasan fungsi serta daerah pemakainya.

   



















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan jenis Penalitian
3.1.1 Metode penelitian
    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif. Metode deskriptif karena penelitian ini berusaha menyajikan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan tentang penggunaan campur kode dalam peristiwa jual beli di pasr sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Metode kualitatif karena penelitian ini menguraikan fakta dan fenomena penggunaan campur kode dalam bentuk kata, gabungan kata atau kalimat dalam struktur yang benar.

3.1.2 Jenis Penelitian
    Penelitian ini tergolong penelitian lapangan oleh karena itu penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data sesuai dengan fenomena bahasa yang hidup pada penuturnya, sehingga penelitian ini berdasarkan fakta atau bahasa yang dipaparkan apa adanya.

3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
    Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang digunakan dalam peristiwa jual beli di pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Tuturan-tuturan ini merupakan campur kode yang digunakan masyarakat dalam peristiwa jual beli di pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.
3.2.2 Sumber Data
    Sumber data penelitian ini adalah hasil tuturan yang ada di pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Sumber informasi ( informan ) dalam penelitian ini adalah para pelaku pasar yang terdiri atas penjual dan pembeli yakni penjual dan pembeli barang pecah bela, ikan, sayur dan pakaian yang ada di pasr sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.

3.3 Instrumen Penelitian
     Dalam penelitian ini, peneliti sebagai instrumen kunci dan menggunakan alat bantu yang berupa panduan obsevasi dan tape recorder untuk merekam peristiwa campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang digunakan dalam masyarakat di pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.
    Adapun panduan observasi itu adalah :
Bahasa Daerah    Bahasa Indonesia    Bentuk Campur Kode

3.4 Metode Pengumpulan Data
    Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1)    Pengamatan berperan serta yaitu metode yang digunakan dengan cara mengamati obyek yang diteliti dan mencatat fenomena penggunaan bahasa yang sebenarnya.
2)    Wawancara terbuka yaitu suatu teknik pengumpulan data penelitian menyampaikan terlebih dahulu kepada informan mengenai tujuan wawancara dan batasan data yang akan dikumpulkan.
3)    Rekam yaitu metode pengumpulan data yang digunakan dengan cara merekam percakapan informan, terutama percakapan yang berhubungan dengan penggunaan campur kode dalam peristiwa jual beli di pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.
4)    Catat yaitu metode pengumpulan data yang digunakan dengan cara mencatat percakapan yang berhubungan dengan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang digunakan dengan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang digunakan masyarakat pasar sentral Kulisusu Kabupaten Buton Utara.

3.5 Metode Analisis Data
    Metode analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyeleksi data-data yang telah terkumpul. Data-data yang sudah terseleksi kemudian dikelompokkan sesuai dengan versinya masing-masing dan sesuai dengan penelitian. Setelah data dikelompokkan lalu dianalisis secara deskriptif.























BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

    Sesuai dengan masalah penelitian tentang campur kode dalam peristiwa jual beli yang dilakukan oleh penelitian di lingkungan pasar sentral Kulisusu, maka data hasil penelitian tersebut tercakup dalam tiga bagian yakni campur kode dalam bentuk gabungan kata, campur kode dalam bentuk kata dan faktor-faktor yang mempengaruhi campur kode. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian-uraian berikut ini:

4.1 Campur Kode dalam Peristiwa Jual Beli di Lingkungan Pasar Sentral yang Berbentuk       Kata.
    Campur kode bahasa yang dituturkan oleh para pelaku pasar sentral Kulisusu dalam bentuk kata dapat dilihat pada uraian berikut ini.
    Bentuk campur kode dalam bentuk kata yang terjadi di pasar sentral Kulisusu terjadi pula di lingkungan penjualan sayur. Adapun sebaran datanya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
    Pembeli     : ibu, dhaimaina marasono tomat riai?
             ‘ibi, dimana yang jual tomat di sini?’
    Penjual     : iso, dhai ibu-ibu tumotorono i ujung iso.
             ‘itu, sama ibu-ibu yang duduk di ujung.’
    Pembeli     : tarima kasi
             ‘teriam kasih.’
    Dialog pada data tersebut menggambarkan peristiwa jual beli yang di dalamnya terdapat unsur campur kode. Penanda campur kode kalimat itu adalah kata “tomat” dalam bahasa Indonesia yang dalam bahasa daerah Kulisusunya berarti “tamate” hubungan yang terjadi dalam percakapan tersebut terkesan dilakukan dengan santai oleh masing-masing pihak.

4.2 Campur Kode dalam Peristiwa Jual Beli di Lingkungan Pasar Sentral yang Berbentuk Frasa
Campur kode bahasa yang dituturkan oleh para pelaku pasar sentral Kulisusu dalam bentuk frasa dapat di lihat pada uraian berikut ini.
Pembeli     : daho baju mpocuri miu?
         ‘ada baju tidurnya?’
Penjual     : nai daa riai, isambalino aiso.   
         ‘tidak ada di sini, di sebelah situ.’
Pembeli     : tarima kasi.
         ‘terima kasih.’
    Penanda campur kode pada data tersebut adalah saat wanita itu mengucapkan kata-kata “baju tidurnya” yang dalam bahasa daerah kulisusu adalah “bhaju mpocuri”. Hal tersebut menunjukkan bahwa kalimat yang di tuturkan pembeli “bhaju mpocuri dan baju tidurnya” adalah termasuk dalam kategori campur kode karena dalam tuturan itu terddapat percampuran bahasa antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia.
4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Campur Kode di Lingkungan Pasar Sentral Kulisusu
    Campur kode yang terjadi di pasar sentra; Kulisusu tidak terjadi dengan begitu saja akan tetapi dipengaruhi pula oleh beberapa faktor. Adapun sebaran data campur kode berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu penutur lupa bahasa daerahnya, penutur ingin melakukan penegasan dan penutur fokus pada pokok pembicaraannya.
4.3.1 Penutur Lupa Bahasa Daerah
    Salah satu faktor penyebab terjadinya campur kode adalah karena penutur lupa bahasa daerahnya sehingga si penutur melakukan campur kode untuk meneruskan perkataannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
    Pembeli     : cobaopo kuontoko aiso.
             ‘ coba saya lihat yang itu.’
    Penjual     : yo maina?
            ‘ yang mana?’
    Pembeli     : iso ya warana coklati, ikat pinggang.
             Yang warna coklat, ikat pinggang.’
    Penjual     : oh sulepe.
             ‘oh, ikat pinggang.’
    Pembeli     : umbhe, sulepe.
             ‘iya, ikat pinggang.’
    Penanda campur kode dalam kutipan tersebut  adalah “ikat pinggang” dalam bahasa Indonesia yang dalam bahasa daerah Kulisusunya adalah “sulepe”. Hubungan yang tercipta dalam percakapan mereka adalah suasana yang santai. Penanda campur kode pada data tersebut termasuk dalam kategori klausa.

4.3.2 Penutur Melakukan Penegasan
    Campur kode juga disebabkan karena penutur ingin menegaskan maksud apa yang di sampaikannya. Penegasan itu dilakukan guna memperjelas perkataannya kepada lawan tuturnya. Untuk lebih jelasnya campur kode tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini.
    Penjual     : pooli hapa mas?
             ‘beli apa mas?’
    Pembeli     : daho tabako surya.
             ‘ada rokok surya.’
    Penjual     : daho, sepuluh satu bungkus.
             ‘ada, sepuluh satu bungkus.’
    Pembeli     : sahapa?
             ‘berapa?’
    Penjual     : hopulu riwu sabungkusu.
             ‘sepuluh ribu satu bungkus.’
    Bukan hanya karena penutur lupa bahasa daerahnya yang dapat menyebabkan campur kode tetapi karena untuk menegaskan sesuatu penutur melakukan pula campur kode. Adapun kata yang menjadi penanda campur kode itu adalah “sepuluh satu bungkus” yang dalam bahasa daerah Kulisusunya adalah “hopulu riwu sabungkusu”. Penanda campur kode kepada data tersebut termasuk dalam kategori frasa.
4.3.3 Penutur Memfokuskan pada Pokok Pembicaraan
    Selain dua hal yang telah disebutkan tadi yakni karena lupa bahasa daerahnya dan ingin menegaskan faktor lain yang mempengaruhi campur kode itu adalah karena penutur ingin memfokuskan pokok pembicaraan. Untuk lebih jelasnya sebaran datanya dapat dilihat pada uraian berikut ini.
    Pembeli     : sahapa satu rak telurnya?
             ‘berapa satu rak telurnya?’
    Penjual     : rua pulu riwu.
             ‘dua pilih ribu.’
    Pembeli     : hinamo kura, rua pulumo.
             ‘tidak kurang lagi, dulu puluh saja.’
    Penjual     : olinomo iko.
             ‘sudah harga pasnya itu.’
    Pembeli     : mohali.
             ‘mahal.’
    Kutipan dialog pada data tersebut memperlihatkan adanya campur kode yang di sebabkan oleh tuturan yang diucapkan si penjual ataupun si pembeli di pasar sentral Kulisusu. Adapun penanda campur kode itu di tandai dengan kata “satu rak telur” yang diucapkan oleh si pembeli dalam bahasa Indonesia yang dalam bahasa daerah Kulisusunya adalah “samponaa biomanumiu”. Penanda campur kode pada data tersebut termasuk dlam kategori frasa.























DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 1993 . Sosiologi Bahasa . Bandung: angkasa.
Anwar, Khaidir.1990.Fungsi dan Peranan Bahasa Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gajah  Mada Universitas Press
Djadjasudarma, T . Fatimah, dkk. 1994. Akulturasi Bahasa Sunda dan Non Sunda di Daerah Parawisata Pangandaran Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.
Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik Seabuah Pengantar. Bandung: Angkasa.
Soedarmo, Paejdo. 1976. Kode dan Alih Kode. Yodyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar